#1001BLINDFICTIONS
M A L A M7/14/2018 Suara dari lima meter di atas permukaan tanah itu sungguh terdengar. Daun-daun besar dan daun-daun kecil bergesekan tertiup angin malam yang kencang. Aku merapatkan kedua lenganku pada pinggang, menyilangkannya sedemikian rupa agar tak perlu tubuhku gemetar. Malam ini sungguh sunyi, kalaupun kita masih bersama, kau belum tentu akan ada di sampingku. Ini akhir pekan yang panjang; kau akan menggunakannya untuk membangun menara-menara mimpi masa depanmu. Kalau kau ada di sampingku, kau akan menyembunyikan tanganku yang halus dan selalu dingin di dalam genggaman hangatmu. Kau akan menghadirkan sensasi memeluk segelas putih besar teh manis hangat langsung ke nadiku lewat telapak tanganmu yang besar dan kasar.
Tepat di atasku, bulan bersinar sendirian. Bintang sungguh bertabur, namun seluruhnya menjaga jarak dari bundaran sendu yang sesungguhnya hanya pantulan sinar matahari dari balik bumi. Entah siapa yang menjadi bulan dan bintang di dalam cerita kita. Bisa jadi, aku tetaplah aku saat kau menjadi sang bulan; aku mengagumimu dari jauh, tanpa kau tahu, tanpa kau mau tahu. Bisa jadi, kau mengambil jarak yang cukup karena pendar kita berbeda. Pernah sekali kau jadi poros semestaku, di kala lain kau jadi tirta bahagia yang segera saja mengering karena egoku. Malam terus berlalu, tapi rasanya masih lama sampai waktu ia berganti jaga dengan surya. Jiwaku menjadi kelu, tapi rasanya masih lama sampai waktu aku tahu bukan aku yang kau mau.
0 Comments
M I M P I2/26/2018 Hari ini akhirnya tiba juga.
Kau kembali setelah satu pekan berkelana tanpa diriku, tanpa aku menghabiskan daya telepon genggam antik milikmu dengan membuatmu terjaga sepanjang malam melalui percakapan di telepon. Kau duduk di sebelahku, memuji pakaianku dan betapa rindu tak akan pernah cukup mengisi jarak di antara kita. Aku hanya tertawa kecil, sesuatu yang rupanya juga kau sukai dari diriku. Kau bercerita banyak hal; pekerjaanmu yang melelahkan, citamu yang mengagumkan, dan keluargamu yang menyenangkan. Dalam ruang waktu yang sungguh singkat itu, aku bagai arwah yang kembali ke jasad. Hidup kembali, utuh seperti sedia kala. Bertemu denganmu, menatap wajahmu, tenggelam dalam tatapan, pelukan, dan kecupan sehangat semangkuk sup ayam yang baru saja matang saat hari sedang hujan. Sungguh, tak ada yang lebih baik dari semua itu. Lalu aku terbangun. Tengah malam tadi aku berteriak keras sekali sambil menjaga sunyi. Bintang-bintang yang terjaga sepanjang malam tampak sibuk menjatuhkan diri mereka untuk mengabulkan permohonan-permohonan kecil dari seluruh negeri, meninggalkan langit gulita. Bintang terakhir menyapaku iba. Aku hendak menitipkan harapku tentangmu, namun ia sudah jatuh sebelum aku sempat membuka mulut. Bulan sudah melarikan diri dari panggung jauh sebelum aku mulai merindukanmu, mungkin pertanda. Surya pun dengan tegas menolak hadir sepanjang hari. Aku sampaikan kepadamu, aku belum pernah merasa sesepi ini. Cahaya yang menembus kaca buram di sisi tempat tidurku mengingatkanku pada temaram lampu-lampu jalan ibu kota saat kita susuri dulu; saat lengan kecilku memeluk erat tubuh hangatmu dari belakang, berharap kau merasakan sisa-sisa kehangatan pernah kumiliki. Lebih manis dari es krim stroberi, lebih mengasikkan dari menyusun rangkaian mainan tanpa petunjuk yang kau kunci di dalam genggamanmu. Berhentilah kau berlari, yang kau cari sesungguhnya ada di sini. T E H2/21/2018 Sejak kamu menolak untuk kembali hadir, kuabdikan diriku pada teh manis pekat hangat dengan dua sendok gula pasir dalam gelas putih besar berusia belasan tahun. Kedua tanganku melingkar rapi di sekeliling gelas itu, berusaha sekuat tenaga menyerap energi panas yang segera memudar karena teh itu diseduh dengan air panas dari dispenser. Temperatur panas yang merasuki minuman ini mengingatkanku padamu; berlalu begitu cepat. Setiap kali aku meneguk teh manis pekat hangat dari gelas putih besar di dalam genggamanku, ada satu ruang lagi terisi dengan cara yang paling sederhana. Ruang kecil ini pernah kau isi dengan beberapa gelas kejujuranmu. Bukan sesuatu yang kukira akan meluncur dari lidahmu, dan bukan sesuatu yang kukira bisa melembutkan jiwaku. Ruang kecil tepat di sebelahnya terisi dengan sepiring mi instan goreng yang kau buat dengan setengah bungkus saus cabai, padahal sudah kuingatkan bahwa aku tidak bisa makan makanan pedas. Tak apa, ku bilang, toh sore itu kecup manismu membasuh bersih rasa terbakar di lidahku, menggantikannya dengan rasa rindu tak bertepi padamu. Aku berharap aku bisa menyimpan bulu-bulu putih halus Nubula yang ia rontokkan di celana hitamku di dalam ruang kecil lainnya, atau nama-nama kesembilan ekor (atau sepuluh?) kucing lainnya di terasmu malam itu. Kali berikutnya, aku akan mengumpulkan mereka semua di teras dan mempelajari perbedaan mereka dengan seksama. Aku hanya ingat salah satu kucing jantanmu menggelayut manja di pangkuanku, yang lain dikebiri, ekornya dipotong, telinganya dipotong sedikit, dan warna-warna mereka seluruhnya berbeda. Mungkin aku butuh lebih dari satu sesi perkenalan.
D E C E M B E R12/17/2017 A pack of Dunhill, all lit respectfully.
A never-ending list of random questions with bizarre yet funny and emotional answers, and a bunch of laughters that follows. A small, red cup of hot latte. A tasty cup of Caramel Frappucinno with whipped cream and caramel sauce to stir the bitterness away. A set of granite stairs in a huge, tidy courtyard, as comfortable as the back seat of the car. A few plates of raw salmon. A blue denim shirt, red plaid shirt, red striped t-shirt, and black identical sneakers. A set of fluffy cheeks that tastes like cotton candy every time I land my lips on it. A hint of cigarette taste. A gray body-con dress paired with oversized plaid shirt and gray running shoes to escape from the reality. A head full of wits and partial honesty. A good kisser, a nice friend, an excellent support system. A very simple, yet strange name for a guy. An adrenaline junkie – maybe two – rushing towards a dead end, as the clock ticking and the world gets darker. What a rush, what a rush. P A S T I11/16/2017 Jangan sekali-kali kamu terpikir untuk berhenti mengangkat kaki kanan, meletakannya di depan, mengangkat kaki kiri, meletakannya jauh di depan, dan seterusnya lagi hingga kau tiba di tempat yang lebih baik.
Kau harus tetap berjalan. Melangkahlah! Merayap bila perlu, tapi jangan pernah kau berhenti sedikitpun! Aku percaya padamu. Aku adalah satu dari sedikit orang yang masih ada untukmu. Aku adalah satu dari sedikit orang yang tak akan membiarkan siapapun menyentuh batinmu yang penuh luka. Aku pastikan itu. A K H I R11/10/2017 Usai sudah. Kita tidak pernah sampai di Babak Keempat.
Lampu-lampu telah lama padam dan para penonton telah jauh meninggalkan pentas duka sejak Babak Pertama belum selesai. Aku termangu sendirian, beratapkan langit dan pendar sendu bulan purnama. Sesekali tubuhmu kembali, menyesakkan panggung yang tak lebih luas dari cerita kita. Sesekali aku mencari kenyamanan darimu. Sesekali kita melawan takdir, memberontak pada semesta tanpa peduli besok mau berbuat apa atau berkata alasan apa. Babak Keempat. Ini seharusnya menjadi babak terakhir; babak yang menjawab segala ketidaktahuan, kepasrahan, kegelisahan, dan segala yang tak perlu dipertanyakan lagi. Babak Keempat adalah babak resolusi. Penyelesaian. Perpisahan. Halaman terakhir dari buku berisi surat-surat yang tak pernah kutulis. Hingga detik ini, kursi kayu di sebelahku masih kosong. Ruang kecil di dalam jiwaku belum juga terisi. Mungkin, jika ia gagal, untuk sementara akan kubiarkan seperti itu. Happy Demons Day. L E L A H10/23/2017 Jatuh cinta di Kota Jakarta memang bisa semenyakitkan itu.
Di kota yang tak pernah benar-benar terlelap ini, segalanya berlalu begitu cepat tanpa ada jeda, tanpa ada ruang untuk bernapas sebelum kembali bertempur. Jalan-jalan yang mudah berlubang tak menjamin kita akan lekas tiba di tujuan, meski mereka sudah bersusun-susun di bangun untuk memberikan ruang yang lebih. Beban selalu lebih besar daripada wadahnya. Kamu lelah? Segeralah kembali bekerja. Kamu kehabisan ide? Selesaikan tulisanmu. Kamu ingin pulang? Pertempuran belum usai. Segeralah bersiap. Di Jakarta, jarak adalah mitos. Waktu tempuh tak pernah sama, meski segalanya terurut rapi. Jarak bisa terasa dekat, seringkali terasa jauh. Jarak bisa melelahkan, jarang jadi menyenangkan, terutama ketika diarungi sendirian. Jadi, batalkan saja cintamu. Dia tidak akan kembali lagi, ‘kan? N Y A M A N10/23/2017 Langit tempat ku berteduh tak lagi sama. Pendar bulan yang malu-malu di balik gumpalan awan ungu kini benar-benar tertutup. Padahal, dulu ia mengalahkan silaunya lampu ibu kota. Samar cahaya kuning muda itu telah tiada. Langitku gelap. Bintang pun tak datang malam ini.
Aku menengadah ke langit dan menghela napas panjang. Kamu selalu kudoakan, meski kamu bukan siapa-siapa. Tiap-tiap malam kupaksa Tuhan-ku mendengar namamu dalam tiap baris doa yang kujeritkan ke malam kelam. Tiap-tiap pagi kuingatkan Dia untuk menjagamu, melindungimu, bahkan kedua orangtuamu. Kuselipkan pula namamu dalam doa makan siang yang belum pernah berubah sejak taman kanak-kanak, dengan sedikit harapan kau akan bertanya jika aku sudah makan siang atau belum. Aku juga ingin mendengar menu makan siangmu. Aku ingin merasa lega setelah tahu menu makan siangmu hari ini bukan lagi remahan hatimu. Aku duduk di bawah beringin nomor tiga tanpa merasakan adanya dorongan untuk segera pulang. Entah ke mana aku harus pulang. Yang aku tahu, kau tak lagi di sana. Kau sudah terlalu jauh, tak lagi menoleh ke belakang. Tak lagi berpendar malu-malu. Dan aku; aku sudah terlalu nyaman tanpamu. G E T A R10/21/2017 "I have all the time in the world."
Tahun berganti, musim berlalu, dan kita sudah berubah terlalu jauh. Kali pertama kubaca aksara itu, aku terenyuh. Kau masih menyimpan sedikit keceriaan yang kukira sudah lama pudar. Kegigihanmu mendapatkan sisa-sisa dari 24 jam ku hari itu membuatku menjujurkan sisa-sisa kepahitanku. "I was about to lose my shit. I lost you. The only one I have ever loved. And I did nothing wrong, neither did you. It was the worst period of my life." Dan kau berkata, "Aku minta maaf, ya." Tanya mereka. Seberapa kuat aku menggotong kenangan terbaik tentang kita di tiap langkahku? Seberapa lekat rasa yang selalu sama menempel di rongga dada yang usang ini? Seberapa jauh aku berlari, berjalan, merangkak, melompat, berguling, hanya untuk menanggalkanmu dari alam bawah sadarku? Jangan. Jangan tanya. Nanti kau akan menangis dan menyesal, padahal semesta tak akan pernah berpihak pada kita. Nanti kau akan memberontak, nanti kau akan berlari, tanpa tahu harus kembali ke mana selain ke pelukanku. Jangan. Jangan lagi. B U K A N K A M U5/5/2017 "I love your writings."
"My writings?" "Iya, yang suka kamu post di blog kamu itu." "Oh." Gula di dalam es teh manis itu sudah larut sempurna sejak 23 adukkan yang lalu, tapi ia masih saja mengaduknya sambil sesekali menyeruput. Pria berambut ikal didepannya menyeruput kuah ramen yang panas dan pedas. Ia tidak tahu pria ini juga menyukai ramen, seperti pria yang dulu pernah ada di hidupnya. Ia tidak tahu hari ini mereka akan mengunjungi kedai ramen ini. Kejutan, katanya. Kalau saja ia tahu, ia akan berusaha menghindar dari kedai itu lebih awal. Mungkin pura-pura sakit hingga ia merasa lebih baik untuk datang ke kedai ramen ini. "Kamu 'kok ngga pesan apapun? Ini enak, lho, ramennya. Arguably the best ramen in town." "Oh, ya? Yaudah, habisin aja. Nanti pesan lagi kalau belum kenyang." Matanya tertuju pada sepasang kekasih yang duduk di salah satu meja di sudut. Dilihat dari tas ransel dan jaket yang mereka bawa, tampaknya mereka masih kuliah. Ia bisa mendengar tawa mereka yang riang. Mata mereka berbinar saat bercerita tentang harinya. Sepertinya mereka disibukkan dengan ujian semester di kampus masing-masing dan belum berkesempatan untuk bertemu melepas rindu hingga malam itu. We were once like them. How I wish-- "Kamu terinspirasi dari siapa? Kamu lagi jatuh cinta, ya?" Pertanyaan dari pria itu mengembalikan kesadarannya di ruang kini. "Hah? Aku? Jatuh cinta?" Terdengar mustahil, batinnya. Diseruputnya es teh manis di hadapannya, berharap tiga teguk es teh manis cukup untuk menyembunyikan kegugupannya. "Iya, kalau orang ngga lagi jatuh cinta, mana sanggup menulis hal-hal indah seperti itu? Oh, Mbak, ocha dinginnya tolong di-refill, ya." Bagaimana ia menjawab pertanyaan itu? Tiga tahun lamanya ia kehilangan bagian terbaik dari dirinya. Ia tak pernah mencari siapapun untuk mengembalikan bagian tersebut, karena ia tahu bagian terbaik itu takkan pernah kembali. Ia tidak sedang jatuh cinta, tapi ia masih ingat betul akan sosok yang membuatnya jatuh cinta untuk pertama kalinya. "Makasih, ya, udah nulis seperti itu." "Makasih untuk....?" "Untuk tulisannya. I love it. Aku ngga tahu kamu sampai berpikir seperti itu tentang kita. Kok bisa 'sih kamu nulis seperti itu? Beda banget, lho, sama kalau kamu lagi nge-chat. Biasanya mah kamu ngejayus terus, kirimin meme Medieval yang recehnya parah, ngga ada seriusnya sama sekali. Ckckck, keren." Ia tersenyum getir. Pandangannya kembali terpaku pada pasangan kekasih muda di sudut ruangan, lalu ia memandang pria di depannya ini. Semua yang ia inginkan ada di hadapannya; pria tampan yang karir dan hidupnya terjamin, memiliki visi yang jelas untuk masa depannya, memiliki latar belakang yang sama, nyaris tanpa cela. Hanya satu yang kurang; ia bukan dirinya. Ia tak seperti dirinya yang hafal susunan nasi goreng favoritnya di luar kepala; nasi goreng tanpa cabai, kecapnya sedikit, kerupuknya dipisah, dan telurnya ceplok garing. Ia tak seperti dirinya yang bersikap dingin di depan teman-teman mereka namun berubah menjadi sahabat terbaik di dunia saat mereka hanya berdua saja. Ia juga tak seperti dirinya yang menggoda tak henti hanya untuk memastikan wajahnya tak pernah berekspresi datar. Ia selalu membuatnya tersenyum, atau menangis tanpa henti saat ia harus pergi dan takkan kembali. Andai saja pria yang sedang menghabiskan mangkok ramen ke dua didepannya ini tahu—paling tidak sebagian atau seujung kuku, hal-hal yang ia hadapi selama tiga tahun terakhir; hal-hal yang manis, yang pahit, dan yang tak perlu lagi diingat namun masih menyisakan banyak ruang untuk ditulis. Semua tulisan itu berasal dari sebuah masa yang membuatnya rela melepas apapun yang ia miliki saat ini untuk mengulangnya sekali lagi. Ia masih mendoakan dirinya dan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi suatu hari nanti. Ia memohon kepada bintang, berdoa kepada Tuhan, dan berharap pada takdir. Ia sungguh-sungguh memohon, berdoa, dan berharap. Dan andai saja pria ini tahu, tulisan-tulisan itu bukan tentang ia yang sedang disemogakan olehnya, melainkan dirinya yang belum mampu sepenuhnya ia lupakan, lepaskan. Dan tinggalkan. "But it's not so bad.. you're only the best I ever had.. you don't want me back.. you're just the best I ever had.." - Vertical Horizon About #1001BlindFictionsJust like the moment you avoided love, you wished so hard not to know them personally. Archives
July 2018
Categories |